Jumat, 11 Oktober 2013

Acuaria sp


Cacing acuaria sp ditemukan pada unggas. Ada dua jenis spesies cacing acuaria yaitu acuaria hamulosa dan acuaria spiralis. Habitatnya terdapat pada proventrikulus, ventrikulus dan esophagus. Ini tergantung dari spesies dari acing tersebut. Acuaria hamulosa terdapar pada ventrikulus sedangkan acuaria spiralis terdapat pada proventrikulus dan terdapat pada esophagus.

 Morfologi
Mulutnya mempunyai dua pseudolabia lateral, terdapat empat kordon yang membentuk bukit yang berjalan ke posterior tidak membalik kedepan. Ujung posterior jantan bergulung, vulva terletak sepertiga posterior tubuh. Ukuran telur 40-45 X 24-75 mikron. Panjang jantan 10-14 mm dan betina 16-29 mm.


Siklus Hidup
Telur dikeluarkan bersama tinja dan tertelan oleh hospes intermidier (A. hamulosa yaitu belalang melanoplus) dan A. spiralis yaitu Isopoda,  larva akan berkembang dalam hospes intermidier. Host terinfeksi bila memakan host intermidier infektif.

Gejala Klinis
            Gejalala klinis dari acing ini umumnya menyebabkan berat badan unggas menurun (kekurusan), ayam kelihatan malas makan dan minum, terlihat pucat dan sayap menggantung.

Diagnosis

       Diagnosa dari acing ini dilihat dari gejala klinis dan berdasarkan keadaan lingkungan yang memungkinkan untuk pertumbuhan hospes intermedier. Dapat dilihat pula pada pemeriksaan bedah bangkai akan telihat cacing pada provntrikulus atau pada ventrikulus. 

Railietina sp

Cestodosis merupakan penyakit cacing pita yang menyerang ayam pada semua umur. Penyebarannya melalui kotoran ayam yang sakit atau alat-alat yang digunakan. Gejala yang terlihat antara lain lesu, pucat, kurus dan diikuti dengan sayap yang menggantung serta kondisi yang berangsur-angsur menurun dan selanjutnya diikuti kematian akibat komplikasi. Cacing Cestoda yang sering hidup pada ayam yaitu Raillietina spp.
Infeksi Cestoda memiliki tingkat penyebaran lebih luas daripada infeksi oleh Nematoda dan trematoda. Pada usus ayam buras rata-rata ditemukan 132,27 ekor cacing yang antara lain terdiri dari cacing Cestoda Raillietina spp.

Morfologi Raiilietina spp
Terdapat 3 spesies cacing Raillietina spp, yaitu Raillietna tetragona, Raillietina echinobothrida dan Raillietina cesticillus. Di bawah ini secara rinci morfologi masing-masing spesies cacing Raiilietina spp diterangkan. 
1.      Raiilietina tetragona
Raiilietina tetragona merupakan cacing pita ayam yang terpanjang, mencapai 25 cm dan lebar proglottidnya 1-4 mm. Lebar skoleksnya 175-350 mikron dan memiliki rostellum yang diameternya 200-300 mikron. Pada rostellumnya terdapat 2 atau 3 barisan yang terdiri dari 90-120 duri yang panjangnya 6-8 mikron. Alat penghisapnya juga dilengkapi dengan 8-12 baris duri yang panjangnya 3-8 mikron. Lubang kelaminnya biasanya unilateral, kadang-kadang saja berselang seling tak teratur, letaknya di depan tengah-tengah sisi proglottid yang matang. Terdapat 18-32 testes pada setiap ruas. Uterus berisi kapsul yang masing-maisng mengandung 6-12 telur yang berukuran 25-50 mikron (Soulsby, 1982). Kantong sirrusnya kecil, dengan panjang 75-100 mikron (Reid, 1984). Gambar 1 menunjukkan skoleks dan segmen serta lubang genital Raillietina tetragona.
2.      Raillietina echinobothrida
Raillietina echinobothrida, panjangnya mencapai 250 mm dengan lebar 1-4 mm. Skoleksnya bergaris tengan 250-450 mikron, sedang rostelum bergaris tengah 100-250 mikron yang dilengkapi dengan dua baris kait-kait sebanyak 200-250 yang panjangnya 10-13 mikron. Alat penghisapnya juga dilengkapi dengan 8 - 15 baris duri-duri dengan ukuran 5-15 mikron. Lubang kelaminnya hampir selalu unilateral, terletak di tengah-tengah atau sedikit di belakang tengah-tengah sisi proglottid. Uterus berakhir dengan kapsul yang mengandung 6-12 telur.
Kantong sirrus berjarak sepertiga dari saluran ekskretori dan relatif besar, panjang 130-190 mikron. Testes berjumlah antara 20-45 buah dalam tiap segmen.
Ciri khas cacing ini yaitu segmen posterior akan melepaskan diri pada suatu bentukan yang mirip jendela terletak di pertengahan segmen. Akan tetapi bentukan tersebut tidak selalu ditemukan pada setiap individu.
3.      Raiilietna cesticillus.
Panjangnya Raiilietna cesticillus berkisar antara 100-130 mm dan lebarnya 1,5-3 mm, lebar skolek 300-600 mikron. Rostellumnya cukup besar dengan diameter 100 mikron, dilengkapi dengan dua baris terdiri dari 400-500 duri yang berukuran 8-10 mikron. Alat penghisapnya tidak berduri kait. Dalam tiap proglottid yang matang terdapat 20-230 testes. Lokasi lubang kelaminnya berselang seling tidak teratur. Kapsul telur, masing-masing mengandung satu telur, mengisi seluruh proglottid yang matang.


Siklus Hidup Raiilietina spp
Penyebaran cacing Cestoda pada ayam sangat dipengaruhi oleh adanya inang antara. Telur cacing Cestoda yang termakan oleh inang antara akan menetas di dalam saluran pencernaannya.Telur yang menetas berkembang menjadi onkosfir yaitu telur yang telah berkembang menjadi embrio banyak sel yang dilengkapi dengan 6 buah kait.
Onkosfir selanjutnya berkembang menjadi sistiserkoid dalam waktu 3 minggu setelah telur termakan oleh inang antara. Sistiserkoid tetep tinggal di dalam tubuh inang antara sampai dengan inang antara tersebut dimakan oleh inang definitif yaitu ayam.
Setelah ayam memakan inang antara yang mengandung sistiserkoid, maka sistiserkoid terbebaskan oleh adanya aktivitas enzim pencernaan. Segera setelah sistiserkoid bebas, skoleksnya mengalami evaginasi dan melekatkan diri pada dinding usus. Segmen muda terbentuk di daerah leher dan akan berkembang menjadi segmen yang matang dalam waktu 3 minggu. Pada saat segmen atau strobila berproliferasi di dinding leher, dinding sistiserkoid akan mengalami degenerasi dan menghilang. Selanjutnya sistiserkoid berkembang menjadi cacing dewasa di dalam usus ayam dalam waktu 20 hari
Berdasarkan beberapa penelitian diperoleh hasil bahwa masing-masing spesies cacing dari genus Raillietina spp mempunyai inang antara yang berbeda-beda. Raillietina tetragona menggunakan semut dari genus tetramorium dan Pheidole serta lalat Musca domestica sebagai inang antara. Raiilietina echinobothrida menggunakan inang antara semut jenis yang sama dengan Raiilietina tetragona. Sedangkan Raillietina cesticillus mempunyai inang antara berupa kumbang dan lalat Musca domestica.
Cacing yang hidup dalam saluran pencernaan akan mengambil makanan dengan cara menyerap sari makanan dari induk semangnya pada mukosa usus. Apabila tingkat infeksi cukup berat, induk semang akan mengalami hypoglicemia dan hypoproteinemia yang nyata.

Gejala Klinis 
Gejala klinis akibat cacing Cestoda pada ayam dipengaruhi antara lain oleh status pakan atau keadaan gizi ternak, jumlah infeksi dan umur ayam. Pada beberapa jenis infeksi, gejala umum pada ayam muda biasanya ditunjukkan oleh adanya penurunan bobot badan, hilangnya napsu makan, kekerdilan, diare dan anemia. Penurunan produksi telur dan kesehatan secara umum juga merupakan gejala umum akibat infeksi cacing Cestoda.
Cacing Cestoda dalam jumlah besar akan banyak mengambil sari makann dari tubuh inangn sehingga tidak jarang menyebabkan hypoglicemia dan hypoproteinemia.
R. cesticillus menyebabkan degenerasi dan inflamasi villi selapit lendir usus di tempat menempel ujung kait rostellum dan dalam keadaan infeksi berat dapat menyebabkan kekerdilan. Cacing Cestoda ini paling umum didapati pada ayam dengan kerusakan berupa enteritis haemorrhagia. Cacing ini menyebabkan degenerasi dan peradangan pada vili-villi selaput lendir usus.
Raillietina echinobothrida menyebabkan diare berlendir tahap dini. Raillietina echinobothrida dan Raillietina tetragona menyebabkan pembentukan nodul-nodul pada dinding saluran pencernaan. Diantara kedua jenis cacing Cestoda tersebut, yang paling banyak meninmbulkan kerusakan adalah Raillietina echinobothrida. Raiillietina tetragona dapat menyebabkan penurunan bobot badan dan produksi telur pada ras-ras ayam tertentu.

Diagnosis

Diagnosis penyakit didasarkan atas gejala klinik yang tampak dan sejarah timbulnya penyakit. Selain itu dapat pula dengan melakukan pemeriksaan tinja secara mikroskopis dimana akan ditemukan proglottid masak yang lepas atau telur cacing yang keluar bersama tinja. Kelemahan pemeriksaan ini adalah tidak selalu berhasil karena progolttid masak tidak dikeluarkan bersama tinja terus-menerus. Pada pemeriksaan pasca mati akan didapat diagnosis yang memuaskan karena ditemukan spesies cacingnya. Teknik diagnosis yang lain adalah dengan melihat bungkul-bungkul pada mukosa usus dimana cacing mengkaitkan diri pada infeksi R. echinobothrida, Enteritis Catharallis chronica, hyperplasia dinding usus pada tempat cacing melekatkan diri dan perdarahan serta pengelupasan selaput lendir usus.

Cacing Ascaridia gali pada Ayam

Ascaridia gali
Cacing secara alami sering ditemukan pada berbagai unggas liar maupun unggas peliharaan. Pada unggas terdapat dua golongan utama cacing yaitu Nematoda (cacing gilig) dan Cestoda (cacing pipih). Nematoda termasuk kelompok parasit yang terpenting pada unggas sehubungan dengan kerusakan yang ditimbulkan. Kelompok cacing ini memiliki siklus hidup langsung tanpa membutuhkan hospes intermediar. Nematoda disebut juga cacing gilig karena bentuknya bulat, tidak bersegmen dan dilengkapi dengan kutikula yang halus. Nematoda yang mempunyai siklus hidup langsung melewati 4 tahap perkembangan sebelum dewasa. Nematoda dewasa yang hidup dalam tubuh unggas yang terinfeksi akan menghasilkan telur yang dikeluarkan bersama feses. Didalam lingkungan, jika telur berembrio ditelan oleh ayam maka telur akan menetas didalam proventriculus hospes dan berkembang menjadi larva yang akan tumbuh menjadi cacing dewasa didalam tubuh hospes. Ascaridosis yang disebabkan oleh cacing Ascahdia galli merupakan penyakit parasitik yang sering menginfeksi temak unggas, khususnya ayam. Ascaridiosis dapat menyebabkan penurunan berat badan serta berat karkas (Raote et al., 1991) yang berkisardari 1,5 gram hingga 250 gram per ekor. Infeksi cacing ini dapat pula menurunkan jumlah telur dan berat telur hingga mencapai 33%. Selain pada ayam, A. galli juga ditemukan pada jenis unggas lainnya seperti angsa, kalkun, dan pada burung liar. Infeksi Ascaridia disebabkan oleh Ascaridia galli, Ascaridia dissimilis, Ascaridia numidae, Ascaridia columbae dan Ascaridia bonase. Ascaridia galli selain berparasit pada ayam juga pada kalkun, burung dara, itik dan angsa. Ascaridia galli merupakan cacing yang sering ditemukan pada unggas dan menimbulkan kerugian ekonomik yang tinggi karena menimbulkan kerusakan yang parah selama bermigrasi pada fase jaringan dari stadium perkembangan larva.

Morfologi
            Ascaridia galli merupakan parasit besar yang umum terdapat di dalam usus kecil berbagai unggas peliharaan maupun unggas liar. Penyebarannya luas di seluruhdunia. Cacing A. galli merupakan cacing terbesar dalam kelas nematoda pada unggas. Tampilan cacing dewasa adalah semitransparan, berukuran besar, dan berwarna putih kekuning-kuningan (Admin, 2008). Pada bagian anterior terdapat sebuah mulut yang dilengkapi dengan tiga buah bibir, satu bibir terdapat pada dorsal dan dua lainnya pada lateroventral. Pada kedua sisi terdapat sayap yang sempit dan membentang sepanjang tubuh. Cacing jantan dewasa berukuran panjang 51–76 mm dan cacing betina dewasa 72–116 mm. Cacing jantan memiliki preanal sucker dan dua spicula berukuran panjang 1–2,4 mm, sedangkan cacing betina memiliki vulva dipertengahan tubuh. Telur A. galli berbentuk oval, kerabang lembut, tidak bersegmen, dan berukuran 73–92 x 45–57µm.
Infeksi Ascaridia disebabkan oleh Ascaridia galli, Ascaridia dissimilis, Ascaridia numidae, Ascaridia columbae dan Ascaridia bonase. Ascaridia galli selain berparasit pada ayam juga pada kalkun, burung dara, itik dan angsa. Ascaridia galli merupakan cacing yang sering ditemukan pada unggas dan menimbulkan kerugian ekonomik yang tinggi karena menimbulkan kerusakan yang parah selama bermigrasi pada fase jaringan dari stadium perkembangan larva. Migrasi terjadi dalam lapisan mukosa usus dan menyebabkan pendarahan, apabila lesi yang ditimbulkan parah maka kinerja ayam akan turun drastic. Ayam yang terserang akan mengalami gangguan proses digesti dan penyerapan nutrient sehingga dapat menghambat pertumbuhan.

Siklus Hidup
Daur hidup A. galli bersifat langsung dan tidak langsung. Telur infektif yang termakan oleh induk semang, akan menetas di dalam proventrikulus (lambung kelenjar) atau di dalam duodenum (Soulsby, 1982). Untuk berkembang menjadi cacing dewasa, telur nematoda ini akan mengalami empat tingkatan molting. Larva stadium I (Li) dthasilkan pada molting ke-1 terjadi di dalam telur. Larva stadium I (Li) molting menjadi larva stadium II (L2) terjadi di dalam lumen intestin. Larva stadium II (L2) hidup di dalam lumen duodenum selama 9 hah pertama, kemudian masuk ke dalam selaput lendir (mukosa) yang dapat menimbulkan perdarahan. Selama di dalam selaput lendir, larva mengalami pertumbuhan ke stadium lebih lanjut yaitu larva stadium III (L3) sekitar hah ke-8. Selanjutnya L3 molting menjadi larva stadium IV (U) sekitar hah ke-14 -15 pasca infeksi. Di dalam perkembangan cacing A. galli, sebagian dari larva mengalami fase jaringan {"tissue phase") yang dapat berlangsung dari hah pertama sampai hah ke-26 sesudah infeksi, fase jaringan ini terjadi karena larva yang masuk ke dalam selaput lendtr usus mengalami hambatan perkembangan (tertahan). Jadi cacing A. galli hidup di dalam selaput lendir duodenum mulai hah ke- 8-17 setelah infeksi. Larva 5 (L5) (cacing muda) kembali ke dalam lumen duodenum pada hari ke- 17-18 setelah infeksi. Cacing muda ini siap berkembang menjadi cacing dewasa. Cacing betina menurut Ackert (1931) mulai bertelur antara 6-8 minggu pasca infeksi. Ascaridia galli menimbulkan efek patogenik terutama ketika masih berbentuk larva di dalam selaput lendir usus. Larva akan menyebabkan lesio-lesio, perdarahan dan enteritis. Gejala yang mungkin tampak pada ayam yang terinfeksi adalah anemia, diare, dan rasa haus yang beriebihan, kaki menjadi pucat dan sayap terkulai. Ayam kelihatan lemas, malas serta mengantuk. Pada akhirnya pertumbuhan berat badan menjadi terhambat. Setiap ekor cacing A. galli bahkan diduga dapat menurunkan berat badan ayam sebesar 1,5 gram. Pada infeksi berat menyebabkan ayam kehilangan banyak darah, penurunan kadar gula darah, peningkatan kadar asam urat. Infeksi oleh cacing ini tidak mempunyai pengaruh terhadap nilai protein darah, PCV, kadar hemoglobin dan nifai eritrosit serta leukosit. Ascaridia galli dapat pula menularkan Avian Rheovirus kepada ayam yang lain. Dalam perkembangannya A. galli dapat tersasar dan terperangkap di dalam uterus sehingga cacing mi dapat pula ditemukan di dalam telur ayam. Pada ayam betina infeksi cacing ini dapat menyebabkan penurunan produksi telur, kehilangan bobot badan walaupun konsumsi pakannya tetap meningkat. Penurunan bobot badan dan penurunan konsumsi pakan terutama terjadi pada umur 9-21 minggu setelah infeksi. Setelah cacing ini menjadi dewasa akan meningalkan selaput lendir dan tinggal di dalam lumen usus. Ayam yang masih muda paling peka terhadap kerusakan yang disebabkan oleh cacing ini. Dalam umur 2 atau 3 bulan ayam akan membentuk ketahanan (imunitas jaringan) terhadap cacing gilik. Ascaridia galli pada ayam umumnya singkat dan jarang meningalkan kerusakan permanent. Hal ini disebabkan karena tubuh ayam memiliki suatu kekebalan yang dapat melindungi tubuh mereka. System ini mampu melakukan reaksi yang cepat dan tepat untuk menyingkirkan materi asing tersebut. Salah satu organ yang memiliki system tersebut adalah saluran pencernaan (usus).
Ayam muda lebih sensitif terhadap kerusakan yang ditimbulkan Ascaridia galli. Sejumlah kecil cacing Ascaridia galli yang berparasit pada ayam dewasa biasanya dapat ditolerir tanpa adnya kerusakan tertentu pada usus. Infeksi Ascaridia galli dapat menimbulkan penurunan berat badan, pada kondisi yang berat dapat terjadi penyumbatan pada usus. Ayam yang terinfeksi Ascaridia galli dalam jumlah besar akan kehilangan darah, mengalami penurunan kadar gula darah, peningkatan asam urat, atrofi timus, gangguan pertumbuhan, dan peningkatan mortalitas. Umur hospes dan derajat keparahan infeksi oleh Ascaridia galli memegang peranan penting dalam kekebalan terhadap cacing tersebut. Infeksi A. galli menyebabkan penurunan berat badan yang signifikan. Hal ini disebabkan karena ascaridiosis dapat mengganggu efisiensi absorpsi nutrisi yang berlangasung di dalam usus halus ayam petelur. Sifat penyakit parasitik cacing A. galli biasanya berjalan kronis sehingga menimbulkan gejala sakit yang perlahan atau subklinis. Kecacingan tidak menyebabkan mortalitas tetapi menghasilkan morbiditas.
 

Gejala Klinis
Jumlah cacing ascaridia galli dalam usus seekor ayam sedikit, maka cacing tersebut tidak menimbulkan gangguan pada ayam (Akoso, 1998; Anonimus, 2006). Sauvani (2008) dan Irawan (1996) menambahkan apabila jumlahnya cukup banyak akan menimbulkan ganguan kesehatan atau kematian terutama pada anak ayam. Anak ayam yang menderita cacingan akan memperlihatkan tanda-tanda seperti tampak kurus, pucat, lemas, sayap agak terkulai, bulunya tidak mengkilat, terjadi diare bewarna keputih-putihan (seperti kapur, encer dan agak berlendir), pada anak ayam terjadi kematian yang banyak dan pada yang dewasa terjadi penurunan produksi telur (sesui dengan gambar feses).
Perubahan Pasca Mati
1. Perubahan anatomi (makroskopik); kerusakan terbesar terjadi sewaktu tahap perpindahan dari pertumbuhan larva cacing. Perpindahan dari dalam lapisan usus dapat menyebabkan radang usus mendarah, cacing dapat ditemukan secara relatif lebih banyak di lumen usus, seperti terlihat pada Gambar 1 (Akoso, 1998). Tabbu (2002) menambahkan infeksi Ascaridia galli dalam jumlah besar akan kehilangan darah, mengalami penurunan kadar gula darah, peningkatan asam urat, atrofi timus, gangguan pertumbuhan dan peningkatan mortalitas.
2. Perubahan histopatologi (mikroskopik); biasanya terlihat bahwa usus terjadi erosi sel epitel dan terlihat adanya hemoragi, sehingga ayam tersebut didiagnosa menderita ascaridiasis. Hemoragi yang terjadi pada usus kecil bisa menyebabkan usus mengalami ulserasi sel epitel. Kerusakan pembuluh darah menyebabkan terjadinya obstruksi akut atau enteristis yang disebabkan oleh cacing atau protozoa akan terjadi penetrasi yang lebih dalam pada lapisan usus (Blood and Henderson, 1963). Disamping itu bisa terjadi nekrosis dan penebalan lokal pada lapisan muskularis yang akan mengakibatkan usus halus tidak berfungsi secara sempurna (Siahaan, 1993)

Pengobatan
Obat anti cacing yang paling sering digunakn untuk membasmi Ascaridia galli adalah piperazin. Selain itu dapat digunakan juga higromisin B dan kumafos melalui pakan untuk mengendalikan cacing tersebut. Piperazin memiliki efek narkotika sehingga cacing dapat dikeluarkan dalam keadaan hidup oleh adanya peristaltic usus. Pengobatan pencegahan pada pullet biasanya diberikan sekitar umur 5 minggu yang diulang pada interval 4 minggu sampai ayam mencapai umur 21 minggu. Pemberian vitamin A selama 5–7 hari dapat membantu kesembuhan mukosa usus yang rusak akibat cacing tersebut.

Pengendalian dan Pencegahan

            Lalat dapat bertindak sebagai factor mekanik dari telur Ascaridia galli, maka pengendalian terbaik adalah kombinasi antara pengobatan preventif dan manajemen yang optimal meliputi sanitasi atau desinfeksi ketat dan pembasmian lalat.

Minggu, 28 April 2013

Kista Folikel pada Anjing



Kista Folikel

Kista folikel pada umumnya merupakan tumor jinak yang berasal dari folikl rambut di bawah permukaan kulit. Apabila disentuh tidak menimbulkan rasa sakit pertumbuhannya lambat namun pada jangka waktu yang lama kista folikel dapat berukuran besar. Terbentuk  ruang kosong dalam jaringan dan berisi cairan atau bahan padat. Paling banyak terjadi pada anjing dan kucing, terutama anjing dan kucing yang mengalami alergi berat. Ada kemungkinan anjing dan kucing yang mengalami Kista folikel sangat aktif, terus menjilat dan menggigit kulitnya sendiri. Kista folikel paling sering terjadi pada anjing dan kucing setengah baya anjing tua, dan lesi berada pada punggung dan leher bagian atas. Ada banyak penyebab untuk kista dapat terjadi : Cedera atau karna infeksi sekunder dari parasit, jamur, dan bakteri, terjadi penyumbatan pada pori folikel rambut, pengaruh obat-obatan tertentu termasuk steroid, kurangnya cairan minyak pada penyakit seperti adenitis sebaceous dan kelebihan lemak dan alergi, perdarahan, trauma atau hasil reaksi injeksi.

Etiologi
Sejarah kondisi, pemeriksaan fisik dan tes laboratorium secara rinci  seperti biopsi adalah beberapa alat dasar untuk konfirmasi kista folikel dengan tepat. Sebuah kista kulit anjing harus dibedakan dari abses, infeksi, infestasi, termasuk ulserasi dan fistula dengan pemeriksaan klinis yang cermat, dan tes laboratorium. Kista folikel hampir menyerupai tumor pada umumnya, namun pada pemeriksaan hasil laboratoris tidak ditemukannya sel kangker. Hanya ditemukan beberapa bentukan sel radang dan pelebaran pada keratin. Beberapa jenis kista anjing dapat berkembang menjadi neoplasia atau kanker ganas pada kasus lanjut, sehingga diagnosis dini sangat penting untuk pemulihan (Bevier DE, Goldschmidt MH, 2002).


Tanda klinis
Kista biasanya benjolan kecil dan mungkin tampak seperti kacang dengan bentukan  berlipat-lipat kedudukanya di kulit. Jika disentuhan benjolan tersebut akan terasa seperti daging yang berisi cairan, konsistensi yang kenyal dan lembek. Terlihat memar disekita benjolan, bagian bulu rontok pada permukaan lesi, pertumbuhanya lambat bila disentuh tidak menimbulkan rasa sakit, kecuali ada infeksi sekunder dari penyakit lain dan kadang-kadang dapat tumbuh cukup besar jika sudah ganas. Dapat terjadi pada setiap bagian dari tubuh, terutama pada bagian keher, punggung, dan kaki.

Diagnosis
Kista folikel sangat mudah sekali untuk  didiagnosis. Jika kita menemukan benjolan aneh pada anjing dan kucing dapat dicurigai sebagai kista folikel. Tergantung pada lokasi, bentuk, tampilan, dan  kosistensi benjolannya. Pada hasil biopsi akan terlihat bentukan kantong yang berisi cairan, yang terletak dibawah permukaan kulit. Jika masih ragu biopsi laboratorium dapat menjadi acuan yang akurat untuk mengetahui hasil diagnosa secara tepat.

Prognosis
Prognosis dari kasus kista folikel pada anjing adalah fausta, hal ini disebabkan oleh jika penanganan yang dilakukan hanya sebatas pembedahan untuk mengangkat tumor folikel dan melakukan penanganan khusus terhadap pasien untuk mencegah terbentuknya kembali Kista folikel seperti membatasi ruang gerak agar anjing tidak menggaruk dan menjilat kulitnya sehingga berpotensi terjadi iritasi yang dapat memicu adanya alergi.
  
Penanganan
Kista folikel pada dasarnya sering kali akan pecah dan sembuh sendiri tanpa pengobatan apapun. Namun seringkali menimbulkan ketiknyamanan bagi hewan itu sendiri. Jika dibiarka pecah besar kemungkinan akan terjadi infeksi karena terdapat cairan yang keluar dari permukaan kulit hasil luka. Selain itu adanya kista folikel tersebut nampak tidak asik dipandang mata.
Pencegahan sejak dini dilakukan dengan cara memandikan anjing kulit dan rambut terawatt. Pengobatan dapat diberikan anti biotik dan anti alergi serta memperbaiki asupan makanan. Jika sudah mengalami tingkat keparahan maka dapat dilakukan dengan pembedahan.

Referensi



Lloyd LC. The aetiology of cysts in the skin of some families of merino sheep in Australia. J Pathol Bacteriol 1964; 88: 219-227.


Jumat, 26 April 2013

CALCULI VESICA URINARIA PADA ANJING

Calculi
Calculi adalah benda-benda padat yang terjadi di dalam saluran perkencingan yang terbentuk melalui proses fisikokimiawi dari zat-zat yang terkandung di dalam air kemih. Calculi (batu) yang terbentuk di sepanjang saluran kemih bisa menyebabkan nyeri, perdarahan, penyumbatan aliran kemih atau infeksi. Batu ini bisa terbentuk di dalam ginjal (batu ginjal) maupun di dalam kandung kemih (batu kandung kemih). Proses pembentukan batu ini disebut urolitiasis. Calculi terbentuk secara endogen yaitu dari unsur-unsur terkecil, mikrolith-mikrolith dan dapat tumbuh menjadi besar. Massa yang mula-mula lunak, misalnya jendalan darah, juga dapat mengalami pembatuan (Price & Wilson, 1995).Batu pada vesica urinaria dapat berukuran dari sekecil pasir hingga sebesar buah anggur dan dapat lebih besar lagi. Kebanyakan dari batu yang terbentuk keluar bersama dengan urin tanpa menimbulkan keluhan. Jika batu berukuran besar (lebih dari 2-3 mm), barulah dapat menimbulkan keluhan karena tersumbatnya saluran kemih. Anjing yang menderita calculi vesica urinaria memiliki darah dalam urin (hematuria), sering buang air kecil (poliuria) tetapi urin yang keluar hanya sedikit. Batu dapat terbentuk dari kalsium, fosfat, atau kombinasi asam urat yang biasanya larut di dalam urine. Pada anjing, batu yang ditemukan terdiri dari berbagai komposisi mineral seperti struvite, kalsium oksalat, kalsium fosfat, urate, cystine, silica, dan xanthine (Vogt 2002). Batu ini membentuk nidus disekelilingnya, yang dapat terdiri dari leukosit, bakteri, dan matrix organik bercampur dengan kristal, atau hanya kristalnya saja. Nidus menyusun sekitar 10-20% dari total massa urolit. Hal ini memungkinkan nidus dibentuk dari berbagai tipe kristal daripada bagian lainnya, yang biasa dikenal sebagai epitaxial growth. Struvite dan kalsium oksalat adalah yang paling banyak ditemukan pada kasus klinik (mcCue et all, 2009).


Etiologi
Calculi VU pada anjing dapat disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya yaitu : adanya presipitasi garam-garam yang larut dalam urine, dimana apabila urine jenuh akan terjadi pengendapan, adanya infeksi, dimana daerah infeksi ini menjadi tempat menempelnya partikel-partikel batu, perubahan pH atau adanya koloid lain di dalam air kencing akan menetralkan muatan dan meyebabkan terjadinya pengendapan. Kecepatan tumbuhnya batu tergantung kepada lokasi batu, misalnya batu pada buli-buli lebih cepat tumbuhnya dibanding dengan batu pada ginjal. Banyak teori yang menerangkan proses pembentukan batu di saluran kemih. Tetapi hingga kini masih belum jelas teori mana yang paling benar.

Beberapa teori pembentukan batu adalah :
Teori Nukleasi Batu terbentuk di dalam urine karena adanya inti batu sabuk batu (nukleus). Partikel-partikel yang berada dalam larutan yang kelewat jenuh (supersaturated) akan mengendap di dalam nukleus itu sehingga akhirnya membentuk batu. Inti batu dapat berupa kristal atau benda asing di saluran kemih.
Teori Matriks Matriks organik terdiri atas serum/protein urine (albumin, globulin, dan mukoprotein) merupakan kerangka tempat diendapkannya kristal-kristal batu.
Penghambatan kristalisasi Urine orang normal mengandung zat penghambat pembentuk kristal, antara lain : magnesium, sitrat, pirofosfat, mukoprotein dan beberapa peptida. Jika kadar salah satu atau beberapa zat itu berkurang, akan memudahkan terbentuknya batu di dalam saluran kemih (Purnomo, 2000).

Tanda klinis
Tanda klinis yang paling umum dari calculi kandung kemih adalah hematuria (darah dalam urin) dan disuria (berusaha untuk buang air kecil). Hematuria terjadi karena batu mekanis mengiritasi dinding kandung kemih, menyebabkan perdarahan dari permukaannya. Disuria terjadi ketika batu menghalangi lewatnya urin keluar dari kandung kemih. batu besar dapat menyebabkan obstruksi parsial pada titik di mana urin meninggalkan kandung kemih dan memasuki uretra, batu-batu kecil dapat mengalir dengan urin ke uretra dan menyebabkan obstruksi sana. Ketika obstruksi terjadi, kandung kemih tidak dapat dikosongkan dan ini sangat menyakitkan.

Diagnosis
Diagnosis calculi pada VU dapat dilakukan berdasarkan pemeriksaan fisik dan tanda klinis, selain itu dapat melakukan pemeriksaan penunjang dengan melakukan foto rontgen (Ashadi. 1998). Selain itu juga Ultrasonografi, CT-scan, Pemeriksaan mikroskopik dari urin, yang dapat menunjukkan adanya protein, sel darah merah, dan kristal-kristal lainnya. Kultur dari urin untuk menyingkirkan adanya infeksi, pemeriksaan darah lengkap, pengumpulan urin 24 jam untuk melihat total dari urin yang keluar sehari, serta melihat kandungan magnesium, sodium, asam urat, kalsium, sitrat, oksalat, dan fosfat dalam urin secara kuantitatif.
  
Prognosis
Prognosis dari kasus calculi VU pada anjing adalah dobius, hal ini disebabkan oleh jika penanganan yang dilakukan hanya sebatas pembedahan untuk mengeluarkan batu yang ada di dalam VU tanpa melakukan diet khusus terhadap pasien untuk mencegah terbentuknya kembali batu didalam VU. Diet khusus ini dapat dilakukan dengan cara memberikan makanan khusus terhadapa anjing, yang dapat mengurangi resiko terbentuknya batu didalam VU.


Penanganan
Ada dua pilihan untuk penanganan kasus calculi pada VU. Pertama dengan melakukan operasi pengangkatan batu. Hal ini membutuhkan operasi besar di mana perut dan kandung kemih dibuka, operasi yang dilakukan adalah cystotomi. Kedua adalah melarutkan batu dengan diet khusus. Hal ini untuk menghindari operasi dan dapat menjadi pilihan sangat baik untuk beberapa anjing. Namun, tidak berhasil untuk semua jenis batu, selain itu dibutuhkan waktu yang lama untuk melarutkan batu

Referesi :

Ashadi T. 1998. Manfaat Diagnosa Radiografi pada Batu Saluran Kemih. Jakarta : Medika

Barteges, JW; Kirk, CA. 2009. Interpreting and managing crystalluria. In Bonagura, JD; Twedt, DC (eds) Kirk's Current Veterinary Therapy XIV. W.B. Saunders Co. Philadelphia, 850-854.

Cathy E L., 2011. Bladder Stones in Dogs. Pet Medical Center South State Street.

Daniel A.D., 2002. Bladder Stones Surgery Service. www.michved.com [10-03-2013]

Kamis, 25 April 2013

Prolapsus Rektum pada Anjing


Prolapsus rektum adalah protrusio atau keluarnya satu atau lebih lapisan rektum melalui anal orifisium. Prolapsus yang terjadi dapat bersifat parsial atau komplet bergantung pada struktur yang terlibat. Pada prolapsus rektum parsial, hanya lapisan mukosa yang keluar, sementara pada prolapsus rektum komplet semua lapisan rektum ikut keluar.
Prolapsus rektumini dapt terjadi pada semua bangsa anjing dan tidak tergantungjenis kelamin. Sebagian besar kasus terjadi pada hewan yang lebih muda.

Penyebab
Faktor predisposisi penyakit ini adalah tumor pada kolon, rektum dan anus. Faktor yang lain adalah adanya benda asing, sistitis, hernia perineal, prostatitis, obstruksi urethra dan distokia. Hewan akan mudah mengalami prolapsus akibat dyschezia dan tenesmus yang terus menerus.

Patofisiologi
Pada umumnya faktor yang menyebabkan prolapsus adalah dyschezia dan
tenesmus yang berlangsung lama dan terus menerus. Kondisi tersebut bersifat individual. Gejala tersebut biasanya merupakan dampak dari penyakit kolon atau rektum. Faktor lain yang berperan adalah kelemahan jaringan ikat dan muskulus perirektal dan perianal, inkoordinasi kontraksi peristaltik, serta inflamasi atau edema pada mukosa rektum.

Gejala Klinis
Hewan akan menunjukkan dyschezia, tenesmus yang berkaitan dengan penyakit anorektal atau inflamasi kolon (typhlitis, colitis, proctitis). Pada pemeriksaan fisik tampak adanya massa silindris panjang yang keluar dari rektum, pada prolapsus rektum parsial hanya mukosa rektum yang keluar.

Diagnosis
Ditemukan adanya massa silindris panjang yang keluar dari rektum. Bedakan
protrusio tersebut dengan prolapsus ileocolic intusussception. Diferensiasi dilakukan dengan memasukkan digital yang telah diberi lubrikan antara massa prolapsus dengan anus. Pada prolaspus ileocolic intusussception, jari mudah masuk dam masuk lebih dalam 5-7 cm dibanding prolapsus rektum. Pada prolapsus rektum, jari tidak bisa masuk karena tekukan berasal dari rektum.

Terapi
Terapi dan prognosis bergantung penyebab, derajat prolapsus, lama terjadinya prolapsus, viablitas jaringan. Pada prolapsus rektal atau anal inkomplet, biasanya mudah dikoreksi secara manual menggunakan saline atau lubrikan. Gunakan ikatan purse string agar rektum tidak mudah keluar kembali. Berikan kortikosteroid topikal untuk mengatasi proctitis atau anusitis. Prolapsus komplet ditandai lama terjadi yang singkat dan viabilitas jaringan masih bagus sehingga lebih mudah dikoreksi. Pada kasus yang sering kambuh atau bila koreksi secara manual tidak bisa dilakukan sebaiknya dilakukan colopexy. Bila prolapsus telah lama terjadi maka viabilitas jaringan sangat rendah sehinggadiperlukan reseksi mukosa atau reseksi komplet dan dilakukan anastomosis. Karena komplikasi terjadi pembentukan striktura pasca operasi, reseksi komplet atau anastomosis tidak boleh dilakukan pada kucing. Kucing yang menderita prolapsus rektum disarankan dilakukan colopexy. Selanjutnya diet yang diberikan sebaiknya mengandung banyak serat dan laksatif untuk melunakkan feses. Prolapsus rektal parsial, prolapsus rektal yang belum lama terjadi dan yang terjadi pertama kali umumnya memberikan prognosis yang baik. Sedangkan pada prognosis yang membutuhkan reseksi rektal komplet, prognosisnya infausta karena sering terjadi striktura pada rektum.


Nusdianto Triakoso


Fistula Perianal pada Hewan Kecil


Fistula perianal atau anal furunkulosis adalah kondisi yang ditandai adanya sinus ulserasi tunggal atau multipel yang terjadi hingga 360 derajat daerah sekitar perianal.

Patofisiologi
Patofisiologi fistula perianal tidak diketahui dengan jelas. Anjing gembala jerman atau Herder mempunyai risiko menderita fistula perianal karena pangkal ekornya lebar dan ekor menggantung. Risiko yang lain adalah adanya kelenjar apokrine di daerah kutaneus anal kanal yang sangat aktif. Bentuk ekor yang demikian mengurangi ventilasi perianal dan menjadi predisposisi akumulasi kelembaban, bakteria fekal, dan sekresi anal sac yang selanjutnya mempermudah inflamasi daerah kelenjar apokrine. Faktor imunologis dan disfungsi tiroid juga diduga menjadi penyebab fistula perianal. Menurunnya jumlah limfosit, serum imunoglobulin sering ditemukan pada penderita fistula perianal. Hipotiroidism diduga nejadi penyebab atau faktor risiko terjadinya fistula perianal. Sebanyak 1 dari 33 anjing yang mengalami fistula perianal mengalami hipotiroidism. Higienitas yang buruk juga menjadi predisposisi penyakit ini.

Gejala klinis
Hewan umumnya mengalami tenesmus, dyschezia, hematochezia, inkontinensia fekal. Hewan juga sering menjilati daerah anal. Gejala yang lain adalah adanya perdarahan daerah anal, konstipasi dan discharge anorektal yang berbau. Anoreksi dan berat badan turun juga dilaporkan pada penderita ulserasi yang parah disertai infeksi. Secara umum juga terjadi perubahan perilaku. Bangsa anjing besar sering menderita dan insidensi yang paling banyak adalah anjing gembala jerman atau Herder dan Irish setter.

Diagnosis
Sejarah atau anamnesis dan gejala klinis cukup jelas untuk menentukan diagnosis fistula perianal. Pemeriksaan daerah anorektum membutuhkan sedasi atau anestesi karena rasa sakit yang sangat. Pemeriksaan fisik ditemukan adanya fistula atau ulserasi tunggal atau multipel, saluran fistula, eksudat purulen disertai darah. Palpasi anorektal ditemukan fistula rectocutaneus multipel dan anal stenosis. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan leukositosis pada pemnderita yang mengalami inflamasi.

Diferensial diagnosis 
Bedakan ruptura abses anal sal dan perianal adenocarcinoma. Pada ruptura abses anal sac, tampak saluran anal sac yang pecah tampak unilateral yang terletak di ventrolateral anus. Selulitis dan fistulasi berkaitan dengan ruptura abses anal sac, tidak begitu ekstensif (luas) dibanding fistula perianal. Perinal adenocarcinoma bersifat proliferatif, namun ulserasi secara umum mirip dengan fistula perianal.

Terapi
Pada kasus fistula perianal ringan (satu atau dua fistula kecil atau area yang tidak luas), tindakan operatif akan memberikan hasil yang baik dan permanen. Pada kasus yang lebih berat lebih berisiko terjadi komplikasi. Kegagalan koreksi operatif biasanya karena inkontinensia fekal, striktura anal dan kambuhnya fistula. Pengobatan yang diberikan adalah kombinasi antibiotika sistemik dan topikal. Lokal antiseptik dan antiinflamasi.


Nusdianto Triakoso


Dysphagia pada Hewan Kecil

Dysfagia adalah gejala kesulitan menelan. Kesulitan menelan dapat disebabkan ketidakmampuan mengunyah, membentuk dan memindahkan bolus makanan ke dalam oesophagus melalui orofaring.

Penyebab
Lesi anatomik atau mekanis yang menyebabkan difagia meliputi inflamasi faringeal (abses, inflamasi polip, granuloma eosinofilik oral), retrofaringeal, neoplasia, sialocele, gangguan sendi temporomandibular, cleft palatum, fraktur mandibula, trauma faringeal. Rasa sakit bisa diakibatkan penyakit dental, trauma mandibular, stomatitis dan glossitis, inflamasi faring yang juga menggangu proses pembentukan bolus dan menelan. Gangguan neurologi juga mengganggu proses mengunyah, pembentukan bolus makan dan menelan (idiopathic trigeminal neuropathy dan lingual paralisis SK XII). Myastenia gravis dan infeksi polimyositis juga menyebabkan terjadinya disfagia karena paresis, paralisis dan kelemahan faringeal. Pada anjing muda umumnya disebabkan menelan atau memakan benda asing dan menyebabkan kerusakan trauma, pada kucing muda biasanya karena inflamatory polips.

Patofisiologi
Kesulitan menelan dapat disebabkan obstruksi mekanis pada rongga mulut atau faring, disfungsi neuromuskular menyebabkan gerakan menelan lemah dan inkoordinasi, rasa sakit saat mastikasi atau menelan. 

Gejala Klinis
Hipersalivasi, gagging, berat badan turun, berusaha menelan berulang-ulang,
menelan dengan posisi leher abnormal, regurgitasi, batuk (aspirasi), sakit saat menelan. Progresifitas disgafia tidak tentu, adanya benda asing akan menyebabkan disfagia akut, sedangkan disfagia faringeal berlangsung intermiten. Pemeriksaan oral secara menyeluruh merupakan aspek yang penting, bila perlu hewan diberi sedasi atau anestesia. Pemeriksaan ditujukan untuk melihat asimetris, cacat anatomis, benda asing, inflamasi, tumor, edema, abses gigi, hilangnya gigi. Mengamati hewan saat makan juga penting dan mampu mengidentifikasi fase abnormalitas menelan. Pemeriksaan neurologis yang menyeluruh juga diperlukan terutama pada syaraf kranial. Komplikasi yang sering terjadi pada kasus disfagia adalah aspirasi pneumonia.

Diagnosis
Pada kondisi inflamasi akan ditemukan lekositosis. Pada disfagia yang disebabkan gangguan muskular akan ditemukan serum kreatinin meningkat. Gejala penyakit renal (azotemia dan oliguria) akan ditemukan pada kondisi ulserasi rongga mulut atau lidah.

Diferensial diagnosis
Bedakan dysfagia dengan vomit atau regurgitasi dari penyakit esofagus. Vomit
berkaitan dengan kontraksi abdominal, sementara pada disfagia tidak.

Terapi
Suport nutrisi merupakan aspek penting dalam mengatasi kondisi disfagia. Pada disfagia oral, pasien dapat menelan bila bolus makan ditempatkan pada kaudal faring. Hati-hati agar tidak terjadi aspirasi pneumonia. Kepala dan leher dinaikkan akan mempermudah proses menelan pada pasien disfagia faringeal atau krikofaringeal. Bila tidak bisa, lakukan terapi cairan secara parenteral. Disfagia tidak mudah diatasi dan pengobatan hendaknya diarahkan pada penyebab penyakit. Berikan antibiotika spektrum luas dan kortikosteroid sebagai antiinflamasi bila tidak ditemukan penyakit yang spesifik.


Nusdianto Triakoso

Sabtu, 20 April 2013

Si Kecil PEMBERANI

pacuan kuda bima (© REUTERS/BEAWIHARTA)


pacuan kuda bima (© REUTERS/BEAWIHARTA)
Kecil-kecil cabe rawit mungkin itulah sebutan kepada anak-anak kecil sebagai joki kuda pacu di pulau Sumbawa. Dengan tubuh kecil mungil duduk di atas kuda merupakan hal yang enteng bagi mereka. memakai pelindung seadanya, dengan kuda tanpa pelana mereka melaju kencang diiringi teriakan para penonton.


Debu mulai naik diatas tanah ketika tapak kuda bertubi-tubi melangkahkan kakinya. Mungkin tidak disadari oleh si Kecil selama berada di atas kuda bahaya bisa saja terjadi. Tradisi yang sudah sangat lekat dihati masyarakat Dompu, Bima, dan Sumbawa yang menghibnotis si Kecil hingga mereka larut dalam semangat yang tinggi untuk mencapai finish paling cepat.

Merupakan suatu kebanggaan tersendiri bagi si Kecil jika bisa mencapai finish terdepan. Kadang bila kejuaraan pacuan kuda itu berlangsung selama jam sekolah tidak sedikit pula dari si Kecil lainya yang meninggalkan sekolahnya.

Namun itu semua merupakan sebagian kecil dari yang terlihat di lintasan pacuan. Latar belakang ekonomi keluarga yang kurang mampu, status sosial di masyarakat juga menjadi pendorong si Kecil harus berada di atas kuda.

Semoga ini bisa diperhatikan kembali oleh semua pihak. Bagaimana si Kecil terjaga keselamatannya saat berkuda apalagi dalam suatu kejuaraan, namun tidak mengurangi aspek penting dalam pacuan kuda di pulau Sumbawa.

(photo. By PlasaMSN, Santirta martendano)

Terapi cairan pada hewan



Berikut ini merupakan perhitungan untuk pemberian/terapi cairan pada hewan yang dehidrasi :
Existing deficit (ml) = berat badan (kg) x % dehidrasi x 1000
Maintenance requirements = berat badan (kg) x 40-60 ml/kg/day
Continuing losses = perkiraan kehilangan cairan (ml/day)
contoh :
Jika seekor anjing dengan berat 20 kg mengalami dehidrasi akibat anorexia dan diare selama 3 hari. Pasien mengalami penurunan elasitas kulit (Tugor kulit menurun), membran mukosa kering, dan lamanya CRT (Capillary Refilling Time). Pada pemeriksaan lab ditemukan PCV 57%, protein plasma 8,6 g/dl, BUN 38 mg/dl, dan berat jenis urin 1.060. Sehingga perkiraan kehilangan cairan adalah 8%. Berapakah jumlah cairan yang dibutuhkan oleh pasien ?
Existing deficit (ml) = 20 (kg) x 8% (0,08) x 1000 = 1600
Maintenance requirements = 20 (kg) x 50 ml/kg/day = 1000
Continuing losses   = 400
Total = 3000 (ml)
Diambil dari :
Lorenz, M. D., Larry, M. C., and Duncan, C. F. 1997. Small Animal Medical Therapeutics. Lippincott-Raven Publishers. DRH. JOHAN JOSIAS MANERY. S.KH
Just another WordPress.com site